Senin, 27 September 2010

SOSIOLOGI PERKOTAAN


1.      Pola Perilaku Kota
Pengamatan Tonnies terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, lebih cenderung tertuju pada upaya untuk mengungkap motif dan sentimen yang ada di balik hubungan antar manusia atau masyarakat yang membuatnya tetap bersama dan melakukan kerja sama. Dalam pada itu, ia membedakan dua tipologi asosiasi yang ada di masyarakat, yaitu asosiasi Gemeinschaft dan Gesellschaft.
Secara garis besar, perbedaan dari kedua tipologi itu adalah sebagai berikut:
Gemeinschaft:
1.                  Adalah masyarakat yang menjadi ciri desa kecil di pedalaman.
2.                  Memiliki tujuan kesatuan yang esensial.
3.                  Orang bekerja sama untuk kepentingan bersama.
4.                  Kehidupan sosial bercirikan: "hidup bersama yang karib, pribadi dan eksklusif.
5.                  Mereka mengakui "kebaikan bersama, kejahatan bersama, sahabat bersama, musuh bersama".
6.                  Dalam diri mereka terkandung "we-ness" dan "our-ness".
7.                  Dipandang sebagai organisme hidup.
Gesellschaft:
1.                  Kumpulan (association) yang menjadi ciri kota besar.
2.                  Hidup di kota bercirikan perpecahan, individualisme dan mementingkan diri sendiri.
3.                  Di kota tidak ada kebaikan bersama dan ikatan keluarga.
4.                  Lingkungan cenderung tidak banyak mempunyai arti.
5.                  Mekanikal dan artifact (buatan manusia).
6.                  Lebih rasional, lebih memperhitungkan.
7.                  Eksistensi bergeser dari kelompok ke individual.
Seperti halnya Tonnies, Durkheim mengembangkan sebuah model dengan kategori yang berbeda. Ia lebih melihat dari sisi solidaritas sosialnya. Untuk itu, ia kemudian mengembangkan konsep tentang solidaritas mekanik dan solidaritas organik yang pada tataran tertentu dapat disamakan atau dibandingkan dengan Gemeinschaft dan Gesellschaft dari Tonnies. Adapun ciri-ciri dari solidaritas mekanik dan organik adalah sebagai berikut:
Solidaritas mekanik:
1.                  Merujuk kepada ikatan sosial yang dibangun atas kesamaan, kepercayaan dan adat bersama.
2.                  Disebut mekanik, karena orang yang hidup dalam unit keluarga suku atau kota relatif dapat berdiri sendiri dan juga memenuhi semua kebutuhan hidup tanpa tergantung pada kelompok lain.
Solidaritas organik:
1.                  Menguraikan tatanan sosial berdasarkan perbedaan individual diantara rakyat.
2.                  Merupakan ciri dari masyarakat modern, khususnya kota.
3.                  Bersandar pada pembagian kerja (division of labor) yang rumit dan didalamnya orang terspesialisasi dalam pekerjaan yang berbeda-beda.
4.                  Seperti dalam organ tubuh, orang lebih banyak saling bergantung untuk memenuhi kebutuhan mereka.
5.                  Dalam Division of labor yang rumit ini, Durkheim melihat adanya kebebasan yang lebih besar untuk semua masyarakat: kemampuan untuk melakukan lebih banyak pilihan dalam kehidupan mereka.
6.                  Meskipun Durkheim mengakui bahwa kota-kota dapat menciptakan impersonality (sifat tidak mengenal orang lain), alienasi, disagreement dan konflik, ia mengatakan bahwa solidaritas organik lebih baik dari pada solidaritas mekanik.
7.                  Beban yang kami berikan dalam masyarakat modern lebih ringan daripada masyarakat pedesaan dan memberikan lebih banyak ruang kepada kita untuk bergerak bebas.
Dari dua pemikiran yang dikemukakan di atas, nampak ada beberapa perbedaan yang cukup signifikan. Walaupun Durkheim setuju dengan kesimpulan Tonnies bahwa sejarah dicirikan dengan adanya pergerakan (movement) dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik, di dalam gagasan-gagasan mereka terdapat perbedaan-perbedaan penting :
1.                  Durkheim berkeberatan bahwa hanya lingkungan masyarakat pedesaan yang alami, sebaliknya ia menegaskan bahwa kehidupan kelompok sosial yang besar sama alaminya (natural) dengan kelompok kecil.
2.                  Durkheim tidak setuju dengan pendapat Tonnies yang negatif tentang masyarakat modern.
3.                  Durkheim mengembalikan terminologi Tonnies dan menamakan "Gemeinschaft" itu "organik" dan "Gesellschaft" itu "mekanik".
4.                  Durkheim lebih optimistik tentang masyarakat modern.









1.      Kemacetan di Pasar Klewer
Menyebut Pasar Klewer orang akan cepat menangkap Solo, dan sebaliknya bicara kota Solo orang akan selalu menanyakan pasar Klewer, sehingga jelas disini ada semacam korelasi yang tidak dapat dipisahkan antara kota Solo dan Pasar Klewer. Dilihat dari kultur budaya, Klewer merupakan aset budaya. Pasar Klewer memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dari pasar tradisional lainnya, yaitu dilihat dari sejarah “nama” dan letaknya yang dekat dengan Kraton Surakarta. Meskipun saat ini sudah banyak bermunculan supermarket maupun mall yang berskala internasional, namun Pasar Klewer tetap menjadi andalan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo, baik dalam hal retribusi pasar maupun rotasi dalam hal peredaran uang. Pasar Klewer merupakan pembayar retribusi tertinggi dari 38 pasar yang ada di kota Solo, pasar Klewer memberikan kontribusi ke Pemkot sebesar 2,7 juta per tahun. Pasar Klewer mampu meraup omzet kurang lebih sebesar tiga milyard per hari, sehingga tidak kurang dari 12 perbankan dan koperasi menancapkan akarnya di pasar Klewer.
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, keberadaan pasar Klewer semakin dikenal sebagai pusat tekstil di Jawa Tengah. Hal ini mengakibatkan orang dari berbagai penjuru daerah, tidak hanya dari pulau Jawa tetapi juga dari Sumatra, Lombok, Kalimantan berdatangan ke Solo untuk mencari barang dagangan.
Melihat keadaan pasar Klewer yang berkembang sangat pesat, akibatnya memancing animo pedagang untuk berjualan dilingkungan pasar Klewer, sehingga keberadaannya sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas dan menganggu pedagang yang mempunyai Surat Ijin Penempatan (SIP). Untuk mengatasi hal tersebut oleh Pemkot Solo waktu itu R. Hartomo pada tahun 1985 membangun pasar Klewer Timur yang letaknya berhimpitan dengan pasar Klewer lama, peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah H.M Ismail pada 17 Desember 1986
            Pasar Klewer merupakan lahan untuk mencari rejeki yaitu antara lain para pedagang, buruh, tukang gledek, tukang becak, PKL, supir angkot bahkan pengamen dan juga pencopet. Pasar Klewer merupakan suatu tempat tujuan orang-orang untuk mencari nafkah. Hal ini karena Pasar Klewer pada saat ini menjadi salah satu tujuan wisata di kota Surakarta. Wisatawan lokal maupun domestik sering kali mengunjungi tempat ini untuk tujuan wisatanya. Banyak wisatawan yang dating karena Pasar Klewer menjadi ikon kota Surakarta pada saat ini. Setelah wisatawan mengunjungi tempat-tempat tujuan wisata di kota Surakarta kemudian sebelum pulang ke kota masing-masing, para wisatawan menjadikan Pasar Klewer sebagai tujuan terakhir untuk membeli cindera mata. Di kota Surakarta terkenal dengan kebudayaan batik begitu juga dengan Pasar Klewer, sehingga kebanyakan wisatawan pergi ke Pasar Klwer untuk membeli baju batik.
           
            Melihat wacana di atas bisa dilihat bahwa Pasar Klewer merupakan ikon kota Surakarta sehingga banyak yang menjadikan Pasar Klewer menjadi tujuan wisata. Hal ini menyebabkan orang-orang berbondong-bondong pergi ke Pasar Klewer untuk mencari rejeki dengan berbagai macam pekerjaan seperti pedagang, tukang becak, buruh, angkutan umum, dll. Banyaknya orang yang ingin mencari nafkah di tempat ini kemudian menimbulkan berbagai masalah dari berbagai macam pekerjaan. Salah satu masalah yang ditimbulkan adalah kemacetan.

            Hal -hal yang menyebabkan kemacetan dan solusinya:
1.      Parkir
Pasar Klewer menjadi daya tarik yang kuat bagi orang-orang pada saat ini. Banyaknya orang yang mendatangi tempat ini menyebabkan permasalahan pada lahan parkir. Permasalahan yang muncul karena lahan parkir yang ada di Pasar Klewer menjadi tidak tercukupi. Lahan parkir yang tidak tercukupi menyebabkan kendaraan bermotor yang ingin parkir baik mobil maupun sepeda motor menjadi parkir di pinggir badan jalan. Hal ini menyebabkan kemacetan dan kesemrawutan di Pasar Klewer. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan perluasan lahan parkir. Perluasan ini bisa dilakukan di sebelah barat alun-alun atau sebelah timur Masjid Agung.
2.      Pedagang kaki lima(PKL)
Banyak para pedagang menjadikan tempat ini sebagai pusat untuk mencari nafkah. Jumlah pedagang yang terlalu banyak menyebabkan banyak pedagang yang tidak memiliki Surat Ijin Penempatan. Para pedagang yang tidak memiliki Surat Ijin Penempatan (SIP) biasanya mangkal di emperan toko, kios pasar klewer, dan merembet ke jalan. Akibatnya, ruas jalan menyempit dan menimbulkan kemacetan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diperlukan relokasi pedagang ataupun perluasan Pasar Klewer.
3.      Angkutan umum
Banyaknya pengangkutan yang diperlukan oleh para pedagang menyebabkan banyaknya animo angkutan umum yang mangkal di tempat ini.  Angkutan umum baik bus perkotaan maupun angkot yang lewat maupun mangkal sering tidak disiplin. Mereka berhenti seenak hati, tanpa memedulikan kepentingan pengguna jalan yang lain sehingga menambah jalan depan pasar klewer menjadi macet. Kenapa mereka berhenti seenak hatinya sendiri ? Mereka beranggapan bahwa “ kalau bus dan angkot tidak ngetem ( menunggu ) penumpang di sepanjang jalan depan pasar klewer mereka takut kalau penumpangnya pindah ke angkutan yang lain”. Agar masalah tidak berlanjut maka diperlukan kesadaran sopir angkot dan tegasnya aparat lalu lintas.
4.      Becak
Becak  sebagai angkutan tak bermotor lebih lamban dibandingkan kendaraan bermotor, sehingga mengakibatkan terjadi penumpukan kendaraan, baik kendaraan bermotor maupun tak bermotor. Para tukang becak tak bisa begitu saja disalahkan, Mereka terpaksa parkir di sembarang tempat, sebab sering tidak tersedia fasilitas parkir bagi mereka. Akibatnya, parkir becak mereka makan badan jalan dan menimbulkan kemacetan Ditambah lagi banyak diantara becak yang parkir menunggu penumpang di pinggiran jalan ,menimbulkan  kemacetan yang dahsyat di kawasan pasar klewer. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan area khusus parkir becak.
5.      Ketidakdisiplinan pengguna jalan dan peningkatan volume kendaraan.
Banyaknya antusias orang yang datang menimbulkan jumlah kendaraan bermotor yang semakin banyak. Ketidakdisiplinan para pengemudi kendaraan dan peningkatan volume kendaraan menambah  kemeluasan kemacetan. Untuk  mengatasi masalah diperlukan ketegasan aparat lalu lintas.
Banyak pihak yang menggantungkan hidupnya  di kawasan pasar Klewer. Dalam mengatasi masalah sebisa mungkin peraturan yang dibuat jangan sampai menghilangkan mata pencaharian mereka. Jika mata pencaharian mereka hilang maka akan timbul masalah baru seperti pengangguran. Pengangguran bisa berdampak pada bertambahnya angka kemiskinan, kemudian dapat mendorong mereka untuk melakukan tindakan kriminalitas seperti pencopet.
Referensi: www.SuaraMerdeka.com
2.      Pedagang Kaki Lima

1.      Pedagang Kaki Lima
Seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan pedagang kaki lima (PKL) di perkotaan Indonesia. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas ataupun merusak keindahan kota. Upaya penertiban ini kadangkala melalui bentrokan dan perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pemerintah pun dihujatnya dan masalah PKL ini disebutkan sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin.
2.      Informalitas Perkotaan
Pengertian sektor informal ini lebih sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. Dikotomi kedua sektor ini paling sering dipahami dari dokumen yang dikeluarkan oleh ILO (1972). Badan Tenaga Kerja Dunia ini mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor tersebut: (1) kemudahan untuk masuk (ease of entry), (2) kemudahan untuk mendapatkan bahan baku, (3) sifat kepemilikan, (4) skala kegiatan, (5) penggunaan tenaga kerja dan teknologi, (6) tuntutan keahlian, dan (7) deregulasi dan kompetisi pasar.
3.      Pedagang Kaki Lima
Pembahasan dikotomi tersebut acapkali mengabaikan keterkaitan sektor informal dengan aspek ruang dalam proses urbanisasi. Padahal seperti dapat kita amati di Indonesia ataupun di negara-negara berkembang lainnya, perkembangan sektor informal seiring dengan urbanisasi dan perubahan ruang perkotaan.
Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. Mereka bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan.
PKL bukanlah wujud dari kurangnya lapangan pekerjaan di perkotaan. Lapangan pekerjaan yang mereka lakukan adalah salah satu moda transformasi dari masyarakat berbasis pertanian ke industri dan jasa. Mengingat kemudahan untuk memasuki kegiatan ini berikut dengan minimnya tuntutan keahlian dan modal usaha, penduduk yang bermigrasi ke kota cenderung memilih kegiatan PKL.
Ketersediaan lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya indikator ketersediaan lapangan kerja. Keberadaan sektor informal pun adalah wujud tersedianya lapangan kerja. Cukup banyak studi di negara-negara Dunia Ketiga yang menunjukkan bahwa tidak semua pelaku sektor informal berminat pindah ke sektor formal. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya adalah lebih menarik ketimbang menjadi pekerja di sektor formal.
Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL.
4.       Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta
Pedagang kaki lima di Kota Surakarta Keberadaannya sebagai sektor informal merupakan bagian yang sebenarnya memiliki ketahanan yang cukup handal dibandingkan sektor-sektor usaha lainnya. Terbukti di saat unit-unit usaha lainnya tersingkir akibat badai krisis ekonomi, justru sektor ini tumbuh dan berkembang di Kota Surakarta.
Kota Surakarta telah membangun pasar pedagang kaki lima di tengah Kota. Pembangunan ini terletak di beberapa sektor-sektor kota, seperti: Galabo yang berada di depan PGS, di depan Pasar Triwindu, dan di beberapa ruas citywalk. Keberadaan pembangunan pasar pedagang kaki lima dirasa tepat. Adanya bentuk perhatian dari pemerintah kota terhadap para pedagang kaki lima merupakan nilai positif bagi para pedagang kaki lima. Keberadaan pasar pedagang kaki lima mampu memberikan mata pencaharian bagi penduduk khususnya penduduk Kota Surakarta sehingga dapat mengurangi pengangguran. Para pedagang kaki lima menjadikan Kota Surakarta sebagai tempat untuk bersaing dan mencari rejeki. Adanya keinginan untuk bersaing agar tidak kalah dalam bersaing di kota maka pedagang kaki lima selalu berinovasi lebih baik. Dengan adanya inovasi yang lebih baik membuat keberadaan pedagang kaki lima semakin enak untuk dilihat dan bahkan dapat menjadi daya tarik, seperti Galabo.   





















Daftar pustaka
1.      http://jakartabutuhrevolusibudaya.com
2.      http://www.SuaraMerdeka.com
3.      http://labucyd.blog.uns.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar